Sungguh Semua Anak Mau Belajar!
Judul di atas
benar-benar tidak mengada-ada. Saya sering katakan: demi Allah semua anak mau
belajar! Asal metodenya tepat, ketahuilah semua anak mau belajar.Buktinya semua
bayi ketika merangkak menyentuh semua yang bisa mereka sentuh. Mereka
mengeplorasi dan meneliti benda-benda di sekitarnya: colokan listrik, bola,
karet, jari ibunya, pasir, tanah, daun, sendal. Kadang mereka sentuh-sentuh,
geser, geser, angkat, remas, bahkan dimasukkan ke mulut, meski sendal
sekalipun.
Ketika mereka
mulai bicara, mereka banyak bertanyak kepada orangtuanya. Saking antusiasnya
belajar, bahkan sebagian orangtua kewalahan dengan pertanyaan-pertanyaan anak
ini. Pernah kan mengalami kejadian sejenis ini ketika saat Anda di dapur?
“Lagi ngapain
Ma?”
“Masak nak.. ”
“Masak apa?”
“Sayur asem… ”
“Kayak gimana
sayur asem itu Ma?”
“Ya rasanya asem…
”
“Kenapa bisa asem
rasanya?”
“Kan dikasi asem…
”
“Bumbunya apa aja
Ma?”
“Banyaaak”
“Iyaaa…. banyak
itu apa aja?”
“Ada asem. garam,
bawang merah, terasi, lengkuas… ”
“Lengkuas itu
apa?”
“Apa ya.. yang
kayak gini…. ”
“Rasanya gimana
Ma?”
“Ihhh tanya,
tanyaa terus. Sana… sana!”
Hahay… ternyata
orangtua sendiri yang menghentikkan gairah anak belajar! Coba pikirkan dan coba
ingat-ingat kembali, berapa lama kita tahan ditanya-tanya anak? Kalau Anda
perhatikan kiri kanan Anda, saat orangtua ditanya anak, sebagian besar orangtua
tahan ditanya sama anak hanya sampai 3 pertanyaan!
Padahal, ketika
anak bertanya, itu tanda anak curious… alias penasaran. Penasaran adalah
ekspresi dari rasa keingintahuan. Keinginantahuan adalah modal besar dari
belajar. Keingintahuan adalah modal sejati dari belajar yang sebenarnya.
Maksudnya yang membuat anak benar-benar mau belajar secara alamiah ya karena
keingtahuan ini bukan ujian nasional, bukan disuruh orangtua, bukan pula karena
ada PR.
Bahkan tahukah
Anda, karena bumbu keingintahuan inilah seseorang bisa beragama dan
mengaplikasikan keberagamaannya dengan benar. Maksud saya, sebagian orang
beragama menjadi tidak sebenarnya karna beragamanya hanya karena keturunan
bukan karena ilmu.
Beragama karena
ilmu adalah beragama yang didasari atas kebutuhan eksistensi manusia akan
makna-makna uqdotul kubro: where i came from? who i am? what i have to do with
my life? where i’ll going after this life?
Karena penasaran
inilah pula Nabi Ibrahim menemukan makna ketuhanannya seperti diceritakan dalam
Al-Qur’an. Nabi Ibrahamim meyakini bahwa sesuatu pasti ada yang menciptakan.
Beliau sangat penasaran, siapakah gerangan yang menciptakan, darimaman
kehidupan berasal dan darimanakah dirinya berasal: where i came from? Lalu
beliau menerka-nerka dengan pikiran sederhananya: pasti ada sesuatu yang luar
biasa yang menciptakan semua kehidupan. Ketika melihat bintang beliau berkata
“qul haadza robbi, pasti ini Tuhanku.” Dan ahaaa ternyata berganti siang
bintang itu hilang, maka Ibrahim yang penasaran ini pun kecewa “La uhibbu anil
afiilin, aku tidak suka dengan yang tenggelam” dan seterusnya diterka
satu-satu, matahari, bulan dst.
Soal ketuhanan,
sehebat apapun akal manusia ada yang tidak bisa dicerna, tentang Dzat-Nya
misalnya. Karena Allah Maha Rahman dan Rahim maka Allah memberi petunjuk
tentang pertanyaan-pertanyaan Ibrahim tadi, sebab jika hanya mengandalkan akal,
mungkin tidak akan pernah sampai. Namun demikian, dari akal lah juga bermula
tentang makna-makan ketuhanan itu sendiri.
Mari kembali lagi
soal bahwa semua anak memiliki modal besar dari belajar ini yaitu penasaran.
Kenyataannya, seperti kejadian yagn saya ceritakan di awal, sebagian penasaran
tadi justru dimatikan orangtua d irumah. Riset Gordon Stock membuktikan bahwa
sebagian besar anak mengalami kesulitan belajar dan akhirnya malas belajar
karena merasa stress saat belajar. Dan tahukah Anda siapa yang membuat stress
belajar? Urutan pertama orangtua dan urutan kedua sekolah! Dua lembaga yang
justru diberikan kewenangan dalam mendidik generasi.
Tentu saja kita
bukan orang malaikat. Adakalanya kita pun lagi pusing, kita lagi terburu-buru,
kita lagi banyak urusan, atau karena kita tidak tahu semua jawaban yang
ditanyakan anak, kita tak bisa menjawab semua pertanyaan anak. Semua itu wajar.
Tapi sungguh kita tak berhak untuk mematikan penasaran anak. Sekali lagi
rumusunya: KITA BOLEH MERASA TERGANGGU OLEH ANAK, TAPI KITA TAK BERHAK SAMA
SEKALI MEMATIKAN PENASARAN ANAK. Ketika penasaran anak mati, sejak saat itulah
potensi belajar anak (yang sebenarnya) mati!
Seperti
peertanyaan tentang masak tadi, mungkin Anda akan berkata “jika dilayani terus,
pertanyaan anak saya bisa sampai sahur!” Kenyataannya kalau Anda buktikkan
tidak akan demikian. Pasti anak Anda akan capek sendiri. Saya pernah membahas
soal pertanyaan berulang-ulang dari anak ini dalam tulisan yang lain di buku
pertama saya “Sudahkah Aku Jadi Orangtua Shalih?”
Tapi kalau
alasannya lagi terburu-buru atau merasa terganggu tidak usahlah kita berkata
pada anak kita “Sana-sana, mama lagi sibuk ni.” atau “Bawel amat!”, atau “Nggak
sabaran amat, nanti juga makanannya Mama kasi!” atau “Udah pengen tahu aja
urusan orang gede, nonton tv sana!”Itu mengkerdilkan potensi belajar tadi:
penasaran. Berbeda sangat jika Anda ketika merasa terganggu mengatakan “Anak mama
pengen tau ya? Boleh.. tapi tidak sekarang ya Nak. mama sangat sibuk, maafkan
Mama. Mama tidak mau diganggu, nanti ya Mama akan jawab apa yang ingin kamu
tanyakan setelah selesai masak!” atau Anda katakan pada anak bahwa kita akan
menjawabnya sejam, dua jam lagi atau nanti malam atau yang sejenis ini.
Jika kita tidak
tahu jawaban dari pertanyaan anak, jangan pernah sok tahu, dengan alasan demi
menjaga kredibilitas anak. Parents, kita bukan kamus besar yang pasti tahu
semua yang ditanyakan anak. Menjadi orangtua cerdas bukan berarti kita
menguasai semua yang ditanyakan anak. Tugas orangtua bukanlah menjadi Mr. atau
Mrs, gugel! Yang bisa memberikan banyak jawaban. Bukan, bukan itu. Tugas kita
hanyalah menjadi fasilitator bagi anak untuk mencintai pengetahuan. Artinya
jika kita tidak tahu, kita jawab “Mama Papa belum tau, tapi yuk kita cari
tahu!”
Bagi yang tahu
tentu saja oke! Tapi jika Anda tidak tahu, apa yang akan Anda lakukan ketika
anak bertanya “Abah, kenapa kunang-kunang bercahaya?” Pertanyaan ini ditanyakan
anak saya yang pertama bertahun-tahun yang lalu, waktu dia berusia 7 tahun.
Karena saya tidak tahu maka saya jawab “Aduh, abah nggak tau ya.. ” Bisa jadi
untuk demi menjaga kredibilitas saya katakan “Karena malam hari!” atau “Karena
gelap!” atau dengan jawaban pamungkas “Ya karena takdir Allah!”
Saya tidak
menjawabnya demikian, saya jawab saya benar-benar tidak tahu, tapi setelah itu
saya ajak anak saya untuk mencari tahu. Pergi ke toko buku, cari di internet,
dan seterusnya. Setelah anak tahu, justru semakin banyak rentetan pertanyaan
lainnya, keingintahuan lainnya. Subhanallah. Bukti anak mau belajar bukan?
Tapi
kenyataannya, sebagian orangtua mengatakan anaknya begitu malas sekali untuk
membuka buku pelajaran. Harus disuruh-suruh terus mengerjakan PR jika ada PR.
Seperti cerhat berikut ini:
“Assalamu’alaikum.
Abah saya mau tanya, putra saya yg pertama sekarang sudah kelas 3, tapi sejak
beberapa bulan ini kadang-kadang mulai agak malas untuk belajar, harus diingatkan
dulu kecuali kalau ada PR. Apa saya yang salah mendidiknya? Menurut Abah
bagamana caranya supaya anak mau belajar tanpa disuruh? Terima kasih
Abah.”
Anak yang malas
ngerjain PR belum tentu malas belajar. PR itu sendiri sebenarnya tidak tepat
diberikan anak-anak kelas 1-3 karena konsep berpikir mereka yang masih
ekploratif bukan akademik. Fase kelas 1-3 fase transisi. Coba tanya pada
diri kita sendiri, apakah waktu kita sekolah dulu menyukai PR? berapa banyak
dari kita yang senang jika dikasi PR? Senang loh ya bukan rajin mengerjakan PR?
Adakah diantara kita yang mengharapkan dikasi PR? Adakah diantara kita
yang hobby mengerjakan PR.
Sebagian kita
memang ada yang dari kecil rajin mengerjakan PR. Tapi rajin mengerjakan PR
bukan berarti kita begitu menyenanginya bukan?
Karena itu mari
paradigmanya kita rubah. Semua anak mau belajar asal diberikan metode yang
tepat. UNDANG ANAK BELAJAR, bukan SURUH ANAK BELAJAR!
Tidak bisa
dipungkiri, ada anak istimewa yang mau belajar sendiri meski tak disuruh. Tetapi
meski mereka mau belajar sendiri tanpa diminta orangtuanya sekalipun, yang
ideal semua anak SD saat belajar itu sebenarnya ditemani, dibimbing, bukan
disuruh-suruh. Inilah fungsi kita sebagai orangtua. Mencari nafkah bagi abah
adalah kewajiban. Tapi mencari nafkah tidak menggugurkan kewajiban abah yang
lain ketika punya anak: mendidik anak!
Karena itu meski
mungkin kadang lelah setelah seharian bekerja. Menyempatkan waktu untuk
menemani dan membimbing anak belajar juga tak boleh dilepaskan.
Sebenarnya
anak-anak itu secara alamiah senang belajar. Dan jika metodenya tepat, bahkan
yang bergembira dengan belajar, bukan hanya anak, tapi abah yang menemaninya
pun mendapatkan banyak kegembiraan.
Misalnya, saat
hari ini anak abah yang kelas 2 SD (salma) belajar tentang AIR (sains).
Worksheet (buku pelajaran anak) anak abah bisa jadi bahan seru untuk belajar.
Abah mulai dari
bercerita tentang air. Kita boleh namakan air itu dengan sebutan Ara, Aira,
Al-Water. Sebut saja, “ada setetes air bernama al-water.”
“Ia kadang diam,
kadang bergerak! Saat di danau dan kolam, al-water senangnya diam. Tapi saat di
sungai al water senangnnya bergerak.”
“Al-water klo
bergerak senangnya itu bergerak (mengalir) dari tempat yang tinggi ke tempat
yang rendah!”
“Menurut kamu,
bisakah al water bergerak dari tempat yang rendah ke tinggi?”
Dan seterusnya,
bahkan saat semalam belajar ini, subuh tadi salma meminta lagi untuk belajar.
Ia benar-benar ketagihan belajar! karena ini membuatnya PENASARAN! membuatnya
ingin tahu lebih banyak!
Apalagi ketika
abah memperlihatkan percobaan dengan gelas tentang sifat-sifat air,
memperlihatkan bola dunia yang ternyata bagian air jauh lebih banyak darpada
bagian daratan dst.
JAdi, tak ada lagi
istilah anak tidak senang belajar! Apalagi divonis malas belajar! yang ada
adalah orangtua ynag hanya nyuruh-nyuruh belajar! Tapi tidak mendampingi
belajar!
Tak ada lagi anak
yang ogah-ogahan belajar, yang ada adalah kita yang menggunakan metode belajar
‘akademik’ yang sesuai dengan otak dewasa , dipaksakan dengan otak anak-anak.
Apakah harus
ditemani terus belajar?! Tidak! Tapi fase SD adalah fase untuk anak pengenalan
belajar akdemik. Fase ini adalah fase dimana anak dilatih untuk menyukai belajar
akdemik. Insya Allah pada waktunya nanti (mulai SMP) anak-anak karena sudah
terlatih tidak usah lagi ditemani pun sudah terlatih bagaimana menggali bahan
ajar sehingga menarik minat dia terus bereksplorasi.
Tapi belajar yang
saya maksud di sini, bukan hanya belajar akademik. Jika metodenya tepat,
belajar akademik, belajar eksploratif, belajar kehidupan, belajar agama, atau
belajar apapun sesungguhnya dapat diminati, dinikmati oleh semua anak. Karena
semua anak sungguh sejak awal diciptakan Allah ke dunia, mau belajar
Belum ada Komentar untuk " Sungguh Semua Anak Mau Belajar! "
Posting Komentar