Muhammad Hussein Tabataba’i: Sang Doktor Cilik al-Quran.
05.41
Edit
Meskipun di kelas-kelas hanya
duduk mendengarkan, namun ternyata ia menyerap isi pelajaran. Pada usia 2 tahun
4 bulan, Hussein sudah menghafal juz ke-30 (juz amma) secara otodidak.
Sayyid
Muhammad Husein Tabataba’i lahir pada tanggal 16 Februari 1991di kota Qom,
sekitar 135 km dari Teheran, Ibu kota Iran. Dia adalah doktor cilik yng hafal
al-Quran. Ia mendapat gelar doktor pada usia 7 tahun di Hijazz Collage Islamic
University yang terletak di jantung wilayah kerajaan Inggris, sekitar 32 km
dari kota Birmingham.
Ia
menjalani ujian selama 210 menit dan memperoleh nilai 93. Sesuai standar Hijz
Collage Islamic University. Dengan nilai 93, Hussein menerima ijazah Doktor
Honoris Causa dalam bidang Science of The Retention of The Holy Quran.
Sayyid
Muhammad Hussein Tabataba’i mulai belajar al-Quran pada usia 2 tahun, dan
berhasil hafal 30 Juz dalam usia 5 tahun. Pada saat usia sebelia itu, ia tidak
hanya mampu menghafal seluruh isi al-Quran, tapi juga mampu menerjemahkan arti
setiap ayat ke dalam bahasa ibunya (Perisa), memahami makna-makna ayat
tersebut, dan bisa menggunakan ayat-ayat itu dalam percakapan sehari-hari.
Bahkan,
ia mampu mengetahui dengan pasti di halaman berapa letak suatu ayat, dan dibaris
ke berapa, di kiri atau di sebelah kanan halaman al-Quran. Ia mampu secara
berurutan menyebutkan ayat-ayat pertama dari setiap halaman al-Quran, atau
menyebutkan ayat-ayat dalam satu halaman secara terbalik, mulai dari ayat
terakhir ke ayat pertama.
Hussein
menjalani ujian selama 210 menit dalam dua kali pertemuan. Ujian yang harus
dilaluinya meliputi lima bidang. Yakni, menghafal al-Quran dan menerjemahkannya
ke dalam bahasa ibu, menerangkan topik ayat al-Quran, menafsirkan dan
menerangkan ayat al-Quran dengan menggunakan ayat lainnya, bercakap-cakap
dengan menggunakan ayat-ayat al-Quran, dan metode menerangkan makna al-Quran
dengan metode isyarat tangan.
Setelah
ujian selesai, tim penguji memberitahukan bahwa nilai yang berhasil diraih
bocah itu adalah 93. Menurut standar
yang ditetapkan Hijaz College, peraih nilai 60-70 akan diberi sertifikat
diploma, 70-80 sarjana kehormatan, 80-90 magister kehormatan, dan diatas 90
doktor kehormatan (honoris causa). Dan, pada tanggal 19 Februari 1998, bocah
Iran itu pun tersebut menerima ijazah doktor honoris causa dalam bidang Science
of The Retention of The Holy Quran.
Selama
berada di Inggris, Hussein sering diundang dalam berbagai majelis yang diadakan
komunitas muslim setempat. Umumnya, hadirin ingin menguji kemampuan bocah ajaib
tersebut. Tapi, ternyata Hussein mampu menjawab pertanyaan apapun yang
dilontarkan padanya. Apalagi, ia menjawabnya dengan mengutip al-Quran sebagai
landasannya. Contohnya, dalam satu forum seseorang bertanya, “bagaimana
pendapatmu tentang budaya Barat
Husein menjawab “Mereka menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, Maka mereka kelak akan menemui kesesatan” Jawaban Huseein tersebut ia ambil dari al-Quran surat maryam ayat 59.
bahkan, ia dengan cerdas menjawab pertanyaan yang sulit sekalipun,
seperti, “Apa yang dilakukan Imam Khomeini terhadap Iran?”
Hussein menjawab pertanyaan itu dengan, “(Dia) membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belengguada pada
mereka”. Jawaban itu berdasarkan suarat al-Araf ayat 157.
Maksudnya, pada masa pemerintahan monarki, rakyat Iran terbelenggu dan
tertindas. Lalu, Imam Khomeini memimpin revolusi untuk membebaskan rakyat dari
belenggu dan penindasan.
Apa yang sudah dilakukan Hussein adalah cerminan ikhtiyar pembinaan
generasi Islam yang berhasil. Jika Syarifuddin Khlaifah mampu menghafalkan
al-Quran dan mengislamkan ribuan orang diusia balita dan di tengah-tengan
keluarganya yang kristen, maka hal tersebut tidaklah masuk akal. Hal tersebut
bisa dikategorikan sebagai keajaiban Allah Swt murni. Namun, untuk kasus
Hussein berbeda. Hussein bisa menjadi sosok luar biasa seperti diatas selain
lantaran karena kekuasaan Allah, namun juga ikhtiyar orang tua dan keluarganya
yang sungguh-sungguh. Hussein tumbuh di tengah-tengah keluarga yang baik, dengan
latar belakang keluarga islam yang taat dan cerdas. Orang tua Hussein menikah
ketika mereka masing-masing berusia 17 tahun, dan setelah menikah keduanya
bersama-sama berusaha menghafal al-Quran.
Banyak orang mengatakan jika Hussein memiliki kemampuan khusus di luar lagika (ladunni). Tapi Sayyid Muhammad mahdi Taba’tabai, ayah Hussein menampik pendapat itu. menurut Mahdi, Hussein tidak jauh berbeda dengan anak-anak yang laiinya. Anak manapun bisa memiliki kemampuan seperti Hussein jika orang tua mampu mendidiknya dengan cara-cara yang baik dan kontinu. Pendidikan itu tentu harus dilakukan dengan tepat dan cerdas, dimulai sedini mungkin, yakni sejak dalam kandungan. Agar ia terangsang dan terbiasa bergesekan dengan dunia al-Quran.
Dan, yang terpenting lagi, jika orang tua menginginkan anak mereka
mencintai al-Quran, maka sang orang tua juga harus mencintai al-Quran. Jika
kecintaan itu sudah tumbuh di lingkungan keluarga, maka akan tercipta
pembiasaan-pembiasaan Qurani secara kontinu dan rutin. Inilah yang membuat anak
akan nyaman dan menyatukan ketenangan hatinya pada pembiasaan-pembiasaan yang
sudah tercipta di keluarganya.