Lintas sejarah PAUD di Indonesia I
Ki Hajar Dewantara |
Sesungguhnya sejak dicanangkanya Pendidikan Anak Usia Dini
(PAUD) di seluruh wilayah Indonesia
mendapat respons prokontra dalam masyarakat. Sebagian masyarakat menyambutnya
sebagai sebuah peluang dan kesempatan usaha; sebagian lainnya berbeda karena
program PAUD tidak dipersiapkan secara matang, tidak berjalan seiring dengan
pengelolaan taman kanak-kanak, sehingga menimbulkan benturan di lapangan baik
antara guru, penyelenggara, dan organisasi yang menaungi lembaga tersebut.
Ada baiknya, sebelum membaca
berbagai wacana tentang prokontra PAUD, mari kita telisik tetang sejarah PAUD
di Indoensia. Lintasan sejarah PAUD setidaknya mengalami dinamika dan prosesnya
selama tujuh periode yang meliputi penjajahan Belanda, periode Taman Siswa,
penjajahan Jepang dan awal merdeka, awal kemerdekaan dan gerakan Yayasan
Bersekolah pada Iibu, taman kanak-kanak Al’ Quran oleh BKPRMI, periode lahirnya
PAUD tahun 2003 hingga sekarang.
Periode Penjajahan Belanda
pendidikan anak usia dini
atau prasekolah sebenarnya bukan barang baru dan telah mengalami perjalanan
panjang dalam sejarah pendidikan di Indonesia. Dalam masa penjajahan Belanda
misalnya terdapat Froebelschool, yaitu sekolah yang menggunakan system
Froebel bagi anak Belanda, China, dan anak-anak kaum ningrat yang bekerja
dengan pemerintah Belanda. Berselang beberapa lama, kemudian muncul sekolah
bagi anak usia dini yang menggunakan system Montessori (Montessorischool).
Selanjutnya, pada tahun 1922 lahir taman Indria yang didirikan oleh taman siswa
di Yogyakarta, yang merupakan produk awal bangsa Indoensia. Dalam tulisan Ki
Hajar Dewantara (1940) sekolah untuk anak berusia dibawah tujuh tahun selain
ketiga nama itu dikenal pula nama Kindergarten, Kleuterschool, Bewaarschool,
dan Voorklas.
Sekolah Froebel (froebelschool)
berasal dari Friedrich Froebel (1782-1852), seorang tokoh penggagas dan
sekaligus bapak Kindergarten dunia yang berasal dari Jerman. Konsep Froebel
merupakan terobosan baru dalam pendidikan anak usia dini setelah Pestalozzi dan
awalnya terkenal di Eropa kemudia merambah ke penjuru dunia, termasuk
Indonesia. Froebel sendiri sebenarnya tidak menyukai istilah “school”, tetapi
gerten (taman dalam bahasa Jerman). Ada perbedaan dalam penggunaan
istilah itu, “taman” lebih mengarah ke sebuah tempat yang menyenangkan,
menarik, bebas bergerak, tempat bermain; sedangkan “sekolah” cenderung kepada
sebuah tempat pendidikan dengan setumpuk peraturan ketat yang harus diikuti dan
semata-mata berorientasi penguasaan akademik.
Pada zaman penjajahan
Belanda, selain lebih bernuansa kepada kepentingan colonial, Froebelschool
bagi kaum ibu hanya bertujuan agar anak-anak mereka pandai membaca, menulis,
berhitung, dan bahasa Belanda; padahal tujuan pendidikan Froebel tidak
mengajarkan anak baca, tulis, hitung. Sampai sekarang ini tak heran masih
banyak iibu-ibu yang hanya mengharapkan anakanaknya bisa berhitung ketika masuk
taman kanak-kanak.
Sekolah Montessori berasal
dari nama tokoh maria Montessori (1870-1952), mulai dikenal di Indonesia sekitar
tahhun 1940-an, beliau bahkan sempat ingin datang pada tahun 1941 ke Indonesia,
tetapi batal karena masa peperangan dan dianggap membahayakan pemerintahan
Belanda. Gagasan Montessori tentang hidup bebas dan merdeka
mendapat sambutan dari tokoh-tokoh pendidikan Indonesia waktu itu karena
memperjuangkan roh kemerdekaaan dan hal itu sejalan dengan cita-cita bangsa
Indonesia yang menginginkan hidup bebas dan merdeka.
Periode taman siswa
Pada 3 Juli tahun 1922
berdiri perguruan nasional Taman Siswa
oleh putra Indoensia Ki Hajar Dewantara. Pada awalnya perguruan nasional itu
membuka “Taman Lare” atau “Taman Anak” atau dikenal pula “Sekolah Froebel
Nasional” atau “Kindertuin”, untuk anak dibawah usia 7 tahun. Dalam
perkembangannya “Taman Anak” kemudian berubah menjadi “Taman Indria”.
Penggunaan nama Taman Indria, berdasarkan konsep Froebel dan Montessori yang
menganggap jiwa anak dibawah usia 7 tahun berada dalam periode perkembangan
panca indranya. Ki Hajar Dewantara mengakui bahwa Taman Indria merupakan gabungan
dari dua system pendidikan, yaitu Froebel dan Montessori, walaupun ada
perbedaan terutaa disesuaikan dengan budaya bangsa Indonesia sebagai orang
timur.
Taman siswa boleh dibilang memakai
kedua-duanya sebagai terkandung dalam sifat pendidikan Montessori dan Froebel
itu, akan tetapi pelajaran panca indra dan permainan anak itu tidak terpisah,
yaitu dianggap satu, sebab ddalam Taman Indria hiduplah kepercayaan bahwa dalam
segala tingkah laku dan segala keadaa hidupnya anak-anak itu sudah dihiasi oleh
Sang Maha Among segala alat yang bersifat mendidik si Anak (Ki Hajar Dewantara,
1977;242).
Periode Penjajahan Jepang
dan Awal Kemerdekaan
Masuknya Jepang sebagai
penjajah bangsa Indonesia pada tahun 1942 ternyata membawa perubahan terhadap
perkembangan pendidikan anak usia dini, yang tadinya bercorak Belanda berubah
ke corak Jepang. Jepang berussaha memasukkan idealisme ke dalam jiwa anak-anak
Indonesia. Sekolah pra sekolah seperti Froebelschool tetap ada akan tetapi
berganti nama taman kanak-kanak (kindergarten). Materi belajar anak
termasuk permainan, nyanyian, cerita diganti dengan nyanyian dan cerita-cerita
bangsa Jepang.
Memasuki gerbang kemerdekaan
tahun 1945, kesadaran bangsa Indonesia mulai tumbuh. Para tokoh pendidikan
ketika itu seperti Ki hajar Dewantara dan Ali Sastroamidjaja (mantan mentri
pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan waktu itu) menyadari bahwa pendidikan
nasional harus bercorak nasional sesuai kebudayaan bangsa Indonesia; bukan
Belanda, Amerika, atau Jepang. Indonesia memiliki keluhuran budaya yang tinggi,
kaya akan aneka permainan, nyanyian, cerita-cerita rakyat. Akan tetapi karena
baru merdeka, disusul agresi Belanda dan pemberontakan dalam negeri, nasib
pendidikan nasional belum berubah; bahkan pada tahun 1950, mengalami krisis pendidikan.
Sebagian penduduka buta huruf. Indonesia tidak punya guru, kekurangan fasilitas
belajar, dan perhatian pemerintah masih difokuskan kepada agresi dan
pemberontakan dalam negeri, sehingga sebagian besar anak Indonesia dari Sabrang
sampai Merauke tidak sekolah.
Belum ada Komentar untuk " Lintas sejarah PAUD di Indonesia I "
Posting Komentar